KOMPAS.com — Jajaran Polres Situbondo menangkap pasangan suami-istri atau pasutri pemburu monyet jenis lutung di Hutan Taman Nasional Baluran. Di depan penyidik, mereka mengaku menjual daging satwa langka itu ke pedagang bakso. Diduga, suami istri ini bagian dari sindikat pemburu monyet.

Pasutri yang tertangkap itu adalah Samsul Arifin (46) dan Suhaini (46), warga Desa Trigonco, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo.

Dari rumah kedua pelaku ini, polisi mengamankan dua senapan angin, 30 kilogram daging monyet yang siap kirim, dan seekor monyet yang masih hidup.

Penangkapan itu dilakukan ketika Suhaini hendak menjual daging monyet kepada seorang pedagang bakso yang berjualan di kawasan Asembagus. Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, pasutri ini kini mendekam di tahanan Mapolsek Asembagus.

“Keduanya tertangkap tangan saat mau menjual daging monyet itu kepada pedagang bakso. Karena ancaman hukumannya 5 tahun lebih, kedua pelaku ditahan,” kata Kapolres Situbondo AKBP Taufik Rahmad Hidayat melalui Kasat Reskrim AKP Sunarto.

Menurutnya, dari hasil koordinasi dengan petugas Hutan Taman Nasional Baluran (HTNB), 30 kg daging monyet itu diperkirakan didapat dari antara 20 dan 25 monyet. Monyet yang diburu oleh pasutri ini adalah jenis lutung yang sering bergerombol saat mencari makan di hutan. Bahkan, pada musim kemarau, monyet yang dikenal galak ini sering berada di pinggir jalan raya untuk mencari sisa-sisa makanan yang dibuang pengguna jalan raya di kawasan hutan Baluran.

Tersangka Samsul Arifin mengaku mengetahui bahwa binatang yang ditembak dan dijual dagingnya itu termasuk hewan yang dilindungi undang-undang. Namun, karena terdesak kebutuhan sehari-hari, apalagi banyak pesanan daging monyet, dia bersama istri nekat berburu monyet di hutan Baluran.

“Biasanya daging lutung saya jual kepada pemesannya antara Rp 15.000 dan Rp 20.000 per kilogram,” kata Samsul Arifin di depan penyidik.

Samsul Arifin mengaku baru dalam satu hingga dua minggu terakhir ini berburu monyet karena mendapat banyak pesanan. Ia mengaku dalam tiga kali berburu mendapatkan sekitar 75 monyet. Berat daging seekor monyet sekitar 1,5 kg. Daging monyet itu kemudian dijual kepada pedagang bakso di Asembagus yang memesannya. “Untuk menjual daging lutung, saya biasanya hanya melakukan melalui handphone lalu diambil oleh pemesannya di sebuah tempat,” kata Samsul.

Adapun Suhaini mengaku tidak ikut berburu. Ia hanya menjualkan daging lutung hasil buruan suaminya itu kepada pemesan. “Ini juga baru pertama saya jual daging ini,” katanya di hadapan penyidik. Dari pemeriksaan itu, polisi belum berhasil mengungkap siapa saja pemesan daging monyet tersebut karena kedua tersangka tidak mau membeberkan nama-nama pemesan.

Pihak kepolisian berjanji terus menyidik kasus ini hingga diketahui ke mana saja penyebaran daging satwa yang konon bila dikonsumsi bisa untuk obat penambah vitalitas itu. Polisi menduga dua orang ini adalah bagian dari sindikat perburuan monyet di kawasan HTNB dan kegiatan tersebut telah berlangsung lama.

Banyak penyakit


Ketua Perhimpunan Kebun Binatang Seluruh Indonesia (PKBSI) Rahmat Shah menuturkan, jenis apa pun kera atau monyet tidak layak untuk diburu, dibunuh, dijual dagingnya, apalagi dikonsumsi. “Kera itu banyak membawa penyakit, apalagi kera liar,” katanya saat dihubungi.

Menurut Rahmat, satwa monyet, kalau termasuk jenis yang liar, harus dikarantina lebih dulu setelah ditangkap. Pertimbangannya, penyakit yang ada pada kera ini sangat banyak. “Kera yang habis ditangkap itu harus dikarantina dulu dan diberi vaksin, baru aman,” tambahnya.

Dari sisi hukum, perburuan terhadap monyet juga dilarang. Dia menegaskan bahwa sebagian besar jenis kera merupakan satwa yang dilindungi. “Termasuk kera jenis lutung itu hewan yang dilindungi,” ungkapnya.

Terkait adanya orang yang berburu monyet dan mengonsumsi dagingnya untuk dijadikan obat atau khasiat tertentu, Rahmat sama sekali tak memercayainya. “Enggak ada dan enggak percaya kalau daging kera bisa untuk menyembuhkan suatu penyakit,” katanya.

Perburuan monyet di HTNB juga membuat prihatin Tonny Sumampouw, anggota World Conservation Union. Pasalnya, kera tersebut ternyata dapat dimanfaatkan untuk kepentingan farmasi. “Jika itu terjadi, saya benar-benar prihatin. Apalagi diburu hanya untuk diambil dagingnya. Kera-kera itu jumlahnya sudah semakin berkurang, dan merupakan primata yang lebih dekat dengan manusia,” kata Tonny Sumampouw yang juga salah satu Direktur TSI II Prigen, Kabupaten Pasuruan.

“Kelewatan betul jika kera-kera tersebut diburu dan dagingnya dimakan, apalagi kera ini dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kesehatan, seperti pembuatan vaksin polio dan vaksin-vaksin lainnya,” imbuh Tonny yang juga Sekjen Perhimpunan Kebun Binatang Indonesia.

Di kawasan HTNB yang terletak di Kecamatan Banyuputih, Situbondo, terdapat 444 jenis flora dan fauna. Sedikitnya ada 47 jenis mamalia, yang 12 jenis di antaranya adalah satwa dilindungi UU, termasuk monyet jenis lutung dan monyet ekor panjang. Meskipun berada di luar kawasan HTNB, satwa ini tetap tidak boleh untuk diambil dan dipelihara.

Keberadaan monyet lutung (Trachypithecus auratus cristatus) dilindungi berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 733/Kpts-II/1999 tentang Penetapan Lutung Sebagai Satwa yang Dilindungi. SK menteri ini dikeluarkan, salah satunya, karena populasi satwa jenis ini telah mengalami penurunan dan terancam punah.

Inventarisasi monyet ekor panjang dan lutung atau budeng di Taman Nasional Baluran dilaksanakan pada 25 Oktober 1995 sampai 30 Oktober 1995. Hasilnya, populasi monyet ekor panjang terdata sebanyak 1.548 ekor dan lutung 974 ekor. Namun, jumlah ini dari tahun ke tahun diperkirakan menurun.

Artikel terkait :

0 komentar

Next Post Next Post Next Post